Senin, 27 Februari 2012

Mencari Format Gerakan Mahasiswa


Ketika demonstrasi terasa semakin tumpul…
Sebagai sebuah kekuatan politik, gerakan organisasi kemahasiswaan masih memiliki legitimasi moral yang kuat. Sayangnya, meskipun harapan tinggi masih diletakkan di pundak mahasiswa, akhir-akhir ini terasa ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian melempem dalam menghadapai berbagai permasalahan riil bangsa saat ini.
Bahkan Amien Rais, ikon gerakan reformasi 1998, sempat melontarkan pernyataan bahwa gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat kini seperti “mati suri.” Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme.
Memang, dalam era demokrasi yang semakin terbuka ini, selalu terjadi anomali. Gerakan organisasi mahasiswa bukan malah semakin menguat perannya, tapi malah terasa semakin surut. Demonstrasi tak lagi menjadi “milik” mahasiswa.
Bagi saya, demonstrasi merupakan puncak dari nalar kritis mahasiswa. Artinya demonstrasi menjadi salah satu deskripsi bagaimana mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan menyikapi sebuah isu maupun kebijakan.
Memang betul, bila ada yang berkata, bahwa demonstrasi itu bukan jalan satu-satunya dalam bersikap kritis. Masih banyak jalan lain. Tapi apakah jalan lain itu? Apakah organisasi kemahasiswaan kita telah menempuh “jalan lain” tersebut? Apakah jalan lain itu menggambarkan sikap kritis mahasiswa?
Memang tak selamanya aksi dimaknai sebagai ajang demonstrasi. Tapi selamanya sebuah aksi harus diawali dengan pemikiran kritis. Kaidahnya; kritis di awal, demo di akhir. Hal inilah yang jarang kita lakukan; mengembangkan paradigma berpikir kritis.
Ketika ormawa menjadi autis…
Saya memakai definisi autis, dengan sederhana. Dengan kalimat yang saya dapatkan dari seorang kawan di jurusan PLB. Ia mengatakan, dalam bahasanya, autis ialah asyik dengan dunianya sendiri. (Mohon maaf, kalau definisi ini tidak terlalu tepat menggambarkan apa yang saya maksud)
Ya, mahasiswa dan ormawa telah terlalu asyik dengan dunianya; kampus dan segala pernak-perniknya. Tengoklah berapa banyak kegiatan yang dilakukan oleh ormawa, dari sekian kegiatan itu berapakah yang betul-betul bermakna bagi masyarakat, termasuk masyarakat kampus.
Kita harus merenungkan pesan Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian. Ia berpesan agar kampus jangan menjadi menara gading. Kampus jangan menjadi gudang pengetahuan tanpa mampu menularkan sedikitpun bagi masyarakat.
Mahasiswa adalah kaum intelektual. Ormawa adalah kumpulan intelektual terbaik di kampus. Maka renungkanlah kata Gramsci;
“….kesalahan intelektual terletak pada mempercayai bahwa seseorang dapat mengetahui tanpa merasakan. Dengan kata lain bahwa seolah-olah seorang intelektual dapat menjadi intelektual (tidak hanya sekedar ‘orang pintar’) jika berbeda dan dipisahkan dari masyarakat; yaitu tanpa merasakan gerak, getaran dan gairah yang timbul di dalam masyarakat..”
Saya merasa sekian lama ini ormawa telah lepas dari masyarakat. Bahkan dalam masyarakat kampus itu sendiri.
Kita harus menambah indikator keberhasilan ormawa tak hanya dilihat dari berapa banyak seminar yang ia lakukan. (Saya tidak mengatakan bahwa agenda akademik, seperti seminar, diskusi publik itu tidak penting. Agenda tersebut penting. Malah sangat penting. Dan untuk saat ini, gerakan itu perlu ditambah agar ormawa semakin berkembang)
Pertanyaan-pertanyaan seperti; berapa banyakkah mahasiswa yang benar-benar merasakan kebermanfaatan secara riil adanya ormawa? Apa yang sudah dilakukan ormawa untuk membela hak-hak mahasiswa? Misalnya ormawa ini bubar, berapakah mahasiswa yang menangisinya dan berapa pula yang akan tertawa bahagia? Dan masih banyak lagi.
Pertanyaan seperti itu harus selalu kita tanyakan pada diri sendiri. Pada ormawa yang kita kelola.
Dalam tataran masyarakat (bukan masyarakat kampus) pun saya kira ormawa masih kurang peranannya. Kita seringkali berpikir bahwa ormawa sudah melakukan yang terbaik hanya dengan mengagendakan bakti sosial setahun sekali. Hal itu tak cukup. Kita belum mampu melakukan pemberdayaan masyarakat. Permasalahan di masyarakat tak cukup dengan baksos sekali.
Memang sangat berat dalam melakukan agenda pemberdayaan masyarakat. Butuh komitmen dan kerja keras. Tak cukup hanya dengan ormawa saja. Kita harus melibatkan seluruh elemen. Mulai dari birokrat, mahasiswa non pengurus, pengurus desa, dan lainnya. Tapi yang paling penting ialah kemampuan ormawa menjadileading sector.
*(KKN sebenarnya merupakan konsep pengabdian masyarakat yang bisa di optimalkan. Dan sangat jarang ormawa yang mampu memanfaatkan KKN untuk memaksimalkan kontribusinya dalam pengabdian masyarakat)
Ketika akademis menjadi kesibukan semata…
Tak ada yang salah dengan kuliah. Justru saya menyarankan agar kita semua rajin kuliah dan meraih IPK Cumlaude. Saya termasuk orang yang sedikit menyesal, kenapa IPK saya tak cumlaude ya? Saya mengatakan ini agar tak ada salah paham dari Anda semua. Rajin kuliah, belajar, itu tetap penting.
Pertama, saya hanya ingin bertanya saja; dari teori yang kita pelajari di ruang kelas itu, teori apa yang kita gunakan dalam memaksimalkan peran ormawa?
Ya, kadang kala kita tak menggunakan basis teori jurusan kita dalam agenda-agenda ormawa. Hal sama juga terjadi sebaliknya, ormawa tak mampu memanfaatkan teori-teori ruang kelas itu.
Kegiatan akademis kita bisa jadi hanya kesibukan semata.
Kedua, ormawa belum bisa mengoptimalkan agenda penelitian yang bertebaran di kampus untuk mendorong agendanya. Misalnya begini, katakanlah BEM punya agenda dalam mengkaji kebijakan publik daerah. Nah, kenapa agenda ini tidak disupport oleh penelitian yang dilakukan pengurusnya? Atau ormawa punya gerakan pemberdayaan masyarakat, tapi jarang PKM yang dimotori oleh ormawa. Kebanyakan mahasiswa melakukan PKM atas inisiatif sendiri atau karena keterpaksaan syarat beasiswa.
Maka yang sering terjadi ialah penelitian-penelitian, PKM-PKM, yang seringkali kita buat tak ada hubungannya sama sekali dengan aktifitas kita di ormawa. Bukankah enak bila ormawa ada agenda pemberdayaan masyarakat, dan mendorong sala satu atau dua pengrusnya untuk menyusun PKM tentang itu. Keterkaitan antara kedua hal inilah yang penting.
Sudah saatnya, gerakan ormawa didukung pula dengan penelitian yang bermutu.
“..apakah guna sekolah-sekolah didirikan? Kalau toh tak dapat mengajarkan mana hak mana tidak, mana benar mana tidak..-Pram-“
Ketika mahasiswa berbisnis…
Inilah virus yang baru menjamur saat ini. Bisnis atau biasa disebut enterprenuer. Banyak mahasiswa yang melakukan ini. Dan saya setuju. Tapi bagaimana dengan ormawa?
Saya lihat di kompleks gedung merah itu sudah banyak ormawa yang terjun juga ke dunia bisnis. Yah, walaupun hanya kecil-kecilan saja.
Hal tersebut perlu ditingkatkan. Apalagi bila dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat. Maka yang terjadi adalah bisnis sosial atau lebih enak disebut social entrepenuership. Kita berbisnis tapi juga turut memberdayakan masyarakat. Bagaimana kalau ormawa melakukannya? Sekali lagi, ormawa-lah motornya. Kesulitan dana? Bukankah kita bisa memanfaatkan dana mahasiswa wirausaha itu. J
Tak henti mencari….
Begitulah, mungkin format gerakan ormawa yang sesuai untuk masa ini adalah menggabungkan keempat hal yang saya sebutkan tadi.
Bukan berarti semua harus kita kerjakan. Tidak. Waktu dan tenaga kita tak akan cukup, karena periode kita hanya satu tahun. (Itupun masih dipotong)
Mari kita sama-sama mencari –lebih tepatnya ‘meramu’- keempat hal diatas. Apa yang bisa ormawa lakukan berbasis hal tersebut?
Tugas kita –saya dan Anda- untuk menjawabnya. Tugas kitalah untuk merealisasikannya. Dan mari kita wujudkan gerakan ormawa yang responsif dan kontributif untuk Indonesia yang lebih baik.
Saya yakin, walaupun wajah-wajah Anda tidak terlampau tampan, tapi wajah-wajah Anda adalah; wajah-wajah harapan. (hehe…piss..:))

sumber : Kompasania.com

Selasa, 20 Desember 2011

Hukum dan HAM Bukan Untuk Rakyat Jelata, Sungguh Blekedess..!!!


nilah Indonesia yang katanya sebagai negara yang dilandasi oleh azas-azaz Kesusilaan atas dasar kebesaran dan kekuatan didalam kandungan pada Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945 (UUD45). Inilah Indonesia yang katanya sebagai negara yang menjunjung tinggi kebersamaan dan keadilah dalam segala hal di dalamnya. Keadilan didalam hukum dan kemakmuran berdasarkan untuk sepenuhnya untuk rakyat. Keamanan dan kenyamanan hidup di dalam negeri ini katanya juga untuk rakyat, tapi semua itu ternyata hanya fatamorgana semu dan suran, semua hanya kiasan yang tak nyata adanya.
Ya ya ya…, ternyata apa yang ada di negeri tercinta ini, Keadilan dan kemakmuran sejak masa era kekuasaan dan kepemimpinan Presden Soekarna hingga sampai pada masa era kekuasaan dan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini, Keadilan dan kemakmuran hanya milik para pejabat negara dan para penguasa yang memiliki banyak uang. Buktinya sampai saat ini rakyat kecil pada khususnya hanya dijadikan komoditi politik dan hanya jadi sapi perahan di dalam pendapatan negara. Rakyat kecil di negeri ini kebanyakan hanya selalu dijadikan tumbal bari para elit-elit negeri ini.
Peraturan dan perundangan-undangan negara yang di susun dan di sahkan oleh negara, ternyata berlaku hanya untuk rakyat yang tidak berdaya, bukan hanya untuk mereka yang lebih banyak menikmati fasilitas negara ini, dari jabatan, rumah dinas, mobil dinas, kesehatan, keamanan dan fasilitas lainnya yang lebih banyak menggunakan biaya dari uang rakyat.
Penuntasan hukum dan HAM di negeri ini hanya adil untuk para kalangan elit dan kelompok-kelompok elit lainnya yang banyak memiliki koneksi. Keadilan hukum dan HAM atas nama rakyat jelata tidak ada sama sekali bagi mereka. Jelasnya bahwa rakyat jelata hanya dijadikan korban dan kambing hitam.
Buktinya dari sekian banyak peristiwa hukum dan HAM yang dialami oleh rakyat jelata di negeri ini lebih banyak diabaikan. Contoh pada soal-soal sengketa tanah pertanian, perkebunan maupun hunian yang semula milik rakyat, kok tiba-tiba menjadi milik dari para kelompok yang memiliki banyak uang. Ini sudah jelas banyak terjadi dihampir wilayah di negeri ini, Indonesia. Buktinya hukum dan HAM yang berlaku adil hanya untuk kelompok-kelompok ber-uang tadi. Polisi, Kejaksaan dan peradilan lainnya lebih condong berpihak kepada kelompok-kelompok ber-uang tersebut.
Contoh lainnya lagi soal ketidak adilan hukum dan HAM yang dialami rakyat jelata pada soal sengketa tanah dan lahan, seperti kasus-kasus sengketa tanah antara negara – pengusaha versus rakyat sudah banyak terjadi dan tetap rakyat yang menjadi pencundangnya mulai dari Wanosobo, Garut, Cianjur, Tasikmalaya, Bulukumba, Muko-muko, Labuhan Batu, Porsea, Luwu, Mangarai, Lombok Tengah, Halmahera dan Bayuwangi, semuanya memperlihatkan pola-pola militeristik yang digunakan untuk membecking kepentingan pemodal kuat.
Di Riau konflik pertanahan antara Suku Sakai yang merupakan penghuni sah rimba raya dan tanah Riau yang kaya minyak harus menanggung penderitaan terusir dari tanah leluhurnya. Kasus perseteruan antara Suku Sakai dengan PT Arara Abadi anak perusahaan Sinas Mas Group. Tanah yang dikuasai perusahaan ini dulunya adalah tanah ulayat Suku Sakai dan negara membantu PT. Arara Abadi pada tahun 1990-an untuk melakukan pencaplokan atas tanah seluas 8.000 ha untuk dijadikan sebagai kebun kayu ekaliptus dan akasia. Persoalannya adalah konsep tanah ulayat dalam Suku Sakai tidak diakui negara sebagaimana tanah ulayat dalam masyarakat Minangkabau dimana Nagari dan tanah ulayat diakui negara kepemilikannya sebagai milik komunitas lokal (Kompas, 15 Desember 2007) (Kalaupun dalam kenyataannya banyak terjadi sengketa tanah di Minangkabua yang melibatkan komunitas lokal versus negara-pengusaha-pen).
Demikian juga di tanah Papua kasus pengambil alihan tanah milik Suku Komoro dan beberapa Suku lainnya oleh PT Freeport Indonesia. Rebutana lahan antara Marinir dengan warga di di Alas Tlogo, Pasuruan Jawa Timur 30 Mei 2007 yang berbuntut kasus penembakan terhadap warga oleh anggota Marinir. Bahkan menurut catatan data yang dimiliki Komnas HAM berdasarkan laporan sejak 7 November hingga 5 Desember 2007 tercatat 273 berkas pengaduan tertulis yang diterima sebagian besar terkait permasalahan pertanahan masing-masing sebanyak 50 kasus. Anton Lucas dalam Afrizal (2006:15), mengungkap bahwa fenomena konflik agraria di Indonesia sebagai fenomena yang penuh dengan penindasan dan perlawanan.
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), sebanyak sekitar 30 orang dikabarkan menjadi koban tewas dalam konflik lahan di Mesuji, Sumatra, sepanjang 2008 hingga 2011. Tujuh orang di antaranya diketahui tewas akibat pertikaian yang terjadi pada Kamis, 21 April 2011, sekitar pukul 12.00 WUB. Yakni, antara warga dan petugas pengamanan internal PT SWA di Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Akibat insiden itu, lima korban tewas berasal dari pihak PT Sumber Wangi Alam (SWA). Sedangkan dua lainnya adalah petani yang merupakan warga Sungai Sodong, OKI. Kelima korban dari PT SWA itu adalah Hambali bin M Tohir (Asisten Manager PT SWA), Hardi bin Ratan (Asisten Manager PT SWA), Sabar bin Ruswat (Satpam), Saimun, dan Agus Manto. Sedangkan dua korban dari warga adalah Safei bin Mukmin dan Dewa alias Macan.
Peristiwa berdarah itu dipicu oleh tindakan pihak perusahaan yang menyewa 40 orang untuk menduduki dan memanen lahan perkebunan sawit seluas 300-an hektare yang masih disengketakan antara PT SWA dan warga (status quo). Orang-orang yang dipekerjakan PT SWA itu sejatinya sempat diingatkan warga akan status areal yang masih berkonflik.
Namun perselisihan tidak terelakkan dan diwarnai oleh tindak kekerasan yang menewaskan warga. Mengetahui kejadian itu, warga pun lalu mendatangi lokasi seraya membawa mayat kerabatnya itu.
Warga juga beramai-ramai mendatangi perusahaan yang hanya berjarak beberapa kilometer dari perkampungan mereka. Didera amarah, warga lantas merusak kantor perusahaan yang dijaga oleh beberapa satpam. Akibat peristiwa bentrok balasan tersebut, empat orang satpam perusahaan tewas.
Persoalan atas lahan tersebut telah bermula dari rebutan lahan kebun kelapa sawit seluas 1.200 Ha antara warga Desa Sungai Sodong dan PT SWA. Hingga kini, sekitar 300 Ha kebun sawit itu masih diklaim sebagai milik warga, bukan milik perusahaan.
Namun, pihak perusahaan dengan menugaskan sekelompok preman suruhan, tetap berusaha memanen sawit di kebun tersebut. Kontan itu memancing kemarahan warga, yang akhirnya meledak pada penghujung April lalu.
Apa penyebab terjadinya sengketa pertanahan yang melahirkan protes yang berkepanjangan adalah karena negara telah gagal memberikan perlindungan kepada rakyat dan gagal menjadi pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan bukan sebaliknya melakukan persekongkolan dengan pengusaha untuk merampas hak rakyat atas tanah mereka. Sejarah persengketaan di bidang agraria akan terus berlanjut sepanjang negara tidak bisa membuat sebuah kebijakan yang berpihak kepada rakyat dengan melakukan perombakan hukum agraria secara revolusioner dan total bukan parsial yang sebenarnya cenderung hanya menguntungkan kalangan elit negeri ini dan para pengusaha.
Resolusi Konflik Agraria :
Perlunya Mengembalikan Hak Rakyat Atas Tanah
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh banyak peneliti dan pengamat terkait dengan konflik pertanahan yang terjadi sepanjang sejarahnya di Indonesia, bahwa asumsi yang menyebutkan negaralah sesunguhnya yang menjadi sumber konflik agraria, karena negara telah gagal menjadi mediator dan fasilitator pada saat terjadinya pelepasan tanah adalah benar adanya. Bahkan negara secara sistematis dan terencana berada di belakang pengusaha pada saat pelepasan tanah dengan menggunakan aparat bersenjata juga merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Sebagaimana Afrizal menyebutkan, berbagai studi katanya menunjukkan bahwa negara merupakan faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya (Afrizal, 2006:76). Afrizal bertolak dari studi Bachriadi (1997), Lucas (1997), Ruwiastuti (1997), Fauzi (1999), Stanley (1999), Bachriadi dan Lucas (2001), Hafid (2001) Nuh dan Collins (2001) dan Sakai (2002, 2003).
Bila bertolak dari thesis tersebut, maka penyelesaian konflik agraria harus dikembalikan kepada negara, karena sesungguhnya akar permasalahan bermula dari tindakan negara, tentunya solusinya dikembalikan kepada negara untuk membuat sebuah kebijakan yang dapat menyelesaikan persengketaan tanah tersebut. Salah satu solusinya adalah melakukan perubahan yang mendasar dalam hukum agraria yang lebih mampu mengakomodasi kepentingan mayarakat/komunitas yang dirugikan karena pengambil alihan tanah mereka oleh negara atau perusahaan. Teori yang menyebutkan negara adalah penjaga malam bagi rakyat merupakan landasan yang paling relevan diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria di Indonesia. Pertanyaannya maukah negara melakukan itu di tengah menguatnya semangat negara kapitalistik yang sedang menjalar dalam tumbuh negara bila kita bercermin dari Kasus Lumpur Lapido Brantas Inc di Sidoarjo (Kompas, 28 November 2007).
Sedangkan kasus-kasus tanah ulayat yang dimiliki komunitas adat, maka semestinya diberikan kewenangan kepada mereka untuk mengurusnya bukan sebaliknya mengusir mereka secara paksa dengan menggunakan pola-pola yang represif. Bukankah Undang-Undang Pokok Agraria sendiri mengakui keberadaan tanah adat, tapi kenapa begitu gampang dilakukan pengambil alihan hak-hak komunitas dan kepentingan mereka menjadi terpinggirkan oleh kepentingan negara atau pengusaha ? Ini merupakan cerminan dari ketidak seriusan negara dalam mengurus dan menjamin kepentingan rakyatnya (?).
Bertolak dari uraian-uraian di atas bahwa penyelesaian konflik pertanahan tetap muaranya ada di tangan pemerintah sebagai pemegang kuasa tertinggi atas tanah menurut undang-undang. Resolusi konflik yang ditawarkan sejalan dengan pendapat banyak pihak yang menawarkan solusinya penyelesaian persengketaan pertanahan yang melibatkan negara-pengusaha versus rakyat/masyarakat/komunitas adalah sebagai berikut :
1. Perlunya keadilan bagi penduduk atau komunitas setempat dengan mempertimbangkan ketidak adilan dan proses pengambilan tanah dari penduduk setempat atau peruntukan tanah yang belum digarap yang dilakukan aparatur negara dan bisnis untuk keperluan mereka. Resolusi konflik ini merujuk kepada pendapat Afrizal. (Afrizal., 2006:132).
2. Resolusi konflik yang diambil oleh negara dalam penyelesaian konflik tanah selama ini tidak sepenuhnya efektif, karena negara sepertinya bias dalam mengambil keputusan akibat persekongkolan dengan pengusaha. Dalam hal ini diperlukan adanya jaminan negara terhadap hak-hak atas tanah masyarakat melalui perubahan undang-undangan agraria yang lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat tertutama dalam proses ganti utung bukan ganti rugi atas bangunan, tanah dan seluruh tanaman yang ada di atas tanah tersebut.
3. Perlunya pengakuan terhadap hak-hak komunitas lokal terhadap tanah yang disengketakan atas bekas tanah hak erfpacht. Pemberian HGU kepada perusahaan oleh negara semestinya tetap memperhatikan kepentingan komunitas lokal terlepas dari adanya argumen yang menyebutkan negara sebagai penguasa atas tanah-tanah tersebut. Sepanjang negara tidak memenuhi tuntutan komunitas lokal, maka persengketaan tanah akan terus terjadi.
4. Hendaknya penggunaan aparat negara dalam menyelesaikan konflik pertanahan dapat lebih dikurangi, tentunya dengan lebih mengedepankan penyelesaian yang berorientasi kepada kepentingan bersama (musyawarah) bukan keuntungan satu pihak saja (negara-pengusaha), sehingga pola-pola militeristik yang dikedepankan selama ini dalam penyelesaian persengketaan tanah tidak diperlukan lagi.
———————
*.sumber artikel di sari dari berbagai sumber terkait.

Senin, 19 Desember 2011

Anak muda di Indonesia kasihan

Anak muda di Indonesia kasihan kalau dalam berkarya pun mereka masih tetap dibatasi oleh sistem yang dikuasi oleh yang TUA

Anak muda di Indonesia menangis diam-diam kalau bahkan dalam menuturkan pendapat pun mereka masih dibatasi oleh tuntutan bahwa yang mudah harus berbicara SESUAI umurnya

Anak muda di Indonesia merasa terbunuh secara perlahan kalau mereka masih saja sering DIHAKIMI dan DIRENDAHKAN oleh yang lebih TUA hanya karena umurnya

Anak muda di Indonesia tersakiti secara tak langsung ketika usaha mereka tak DIHARGAI hanya karena mereka dianggap tak berpengalaman walau mereka telah berusaha dengan keras

Anak muda di Indonesia terpaksa tak melawan ketika mereka DIHINA habis-habisan atas tuduhan yang bahkan tak mereka lakukan. Apakah MEMBELA DIRI berarti melanggar norma kesopanan? Apakah norma kesopanan ingin tahu perasaan seorang anak muda yang terpaksa diam dan tidak melawan karena melawan selalu dianggap perbuatan tercela?

Anak muda di Indonesia merasa tak berarti ketika bahkan dalam usaha terbaik mereka, mereka tetap dianggap bocah kencur yang masih harus banyak belajar

Jadi, kapan si TUA memberi kesempatan pada yang MUDA?

Dengan MERENDAHKAN, MEMAKI, MENUDUH, dan MERUSAK RASA PERCAYA DIRINYA bukankah hal itu malah menghalangi seorang anak muda untuk berkembang?

Apakah si TUA memang dasarnya EGOIS?

Ingin segalanya dikuasai oleh kaum yang seumuran dengannya?

Ingin segalanya dikendalikan oleh orang yang satu ideologi dengannya?

Lalu, apa gunanya PERBEDAAN diciptakan secara terang-terangan oleh TUHAN kalau si TUA hanya ingin menerima segala hal yang memiliki persamaan dengan dirinya?

Ah, iya. Mungkin, kita belum terlalu sadar, kalau TUA tak menjamin KEDEWASAAN seseorang

Seringkali yang TUA pun punya pikiran yang justru tak semaju yang MUDA

Si MUDA dan si TUA ini mungkin butuh “JEMBATAN” karena terlalu dalam jurang yang menjadikan mereka terlihat dan terkesan berbeda

Tak harus SAMA kalau ingin BERSATU, cukup menerima segala sesuatu sebagai hal BARU yang pantas dihargai dan diapresiasi

Selasa, 29 November 2011

Biografi Soe Hok Gie ( 1942-1969)



Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.


Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Kata Kata Soe Hok Gie
  • Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
  • Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
  • Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
  • Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
  • Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
  • Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
  • Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
  • Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
  • Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
  • Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
  • Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
  • Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
  • Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
  • To be a human is to be destroyed.
  • Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
  • Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
  • I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
  • Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
  • Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
  • Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
  • Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Senin, 28 November 2011

Arti Kesederhanaan Bagi Pemimpin Indonesia Cuma Pemanis Bibir



13224753352143397154
1322476331203204296
Intinya di Indonesia ini jelas sekali meskipun bilangnya demokrasi dan kesetaraan, namun kelas-kelas sosial atau sistem elit-jelata memang sengaja dibentuk untuk menciptakan kesenjangan di antara masyarakat. Dan hal tersebut dipraktikkan oleh pemimpin tertinggi Republik ini. Sangat memalukan. Tetapi memang begitulah jika didikan feodalisme tetap dan terus dipertahankan. Kalau ditarik ke ranah hukum, contohnya adalah sikap ewuh pekewuh yang akhirnya bikin mandeg proses hukum terhadap koruptor-koruptor papan atas. Mengapa demikian? Jangan bilang tidak aada keterkaitan antara hukum, dan sosial budaya. Justru keterkaitannya sangat banyak, apalagi bila melihat budaya kita yang suka membikin kelas-kelas dalam masyarakat.
Contoh paling gamblang adalah pernikahan sejumlah orang yang sering dibilang tokoh nasional, seperti para konglomerat, petinggi partai, sampai sang Presiden sendiri. Kalau Presiden sudah mempraktikkan yang sedemikian rupa dan dipertontonkan dengan jelas kepada masyarakatnya, berarti memang rakyat Indonesia sudah kehilangan figur pemimpin yang bisa dijadikan panutan. Atau mungkin bisa menjadi panutan tapi hanya untuk kalangan elitis yang doyan hedonis itu. Berbeda dengan di Iran, di mana Presiden Iran ketika menikahkan anaknya sama sekali jauh dari sisi glamor dan penghamburan uang.
Resepsi pernikahan putra kedua Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, Alireza Ahmadinejad dengan Syahid Kaveh berlangsung sederhana. Tidak seperti di Indonesia yang sebelum hari H-nya saja sudah hingar bingar di infoteinment. Bahkan dengan noraknya dibilang pernikahan abad ini di Indonesia.Wueekk!! Tapi itulah potret sederhana Ahmadinejad dan glamornya SBY, perbedaan yang kontras antara dua pemimpin di dunia muslim. Bahkan foto-foto pernikahan putra Ahmadinejad terkuak setelah seorang blogger bernama Javad Matin, yang juga merupakan salah satu undangan keluarga Ahmadinejad, menuliskan pengalamannya menghadiri pernikahan sederhana itu. Menurut pengakuan Matin, kesederhanaan terasa di mana-mana dalam pesta tersebut. Terbukti dari cara tamu dijamu. Hal ini juga bisa dilihat dari mobil yang digunakan untuk mengantar pengantin dan jumlah tamu undangan yang tidak lebih dari 200 orang. Tidak seperti undangannya SBY di Cipanas, berjajal mobil mewah politikus-politikus partai.
Acara dibuka dengan pengajian yang dilakukan di halaman belakang Beyt atau Istana Kepresidenan. Acara pun dilanjutkan dengan makan malam bersama pengantin pria di ruangan utama bangunan itu dan diakhiri dengan berdoa bersama demi kelanggengan rumah tangga Alireza dan istrinya. Setelah ditelusuri, pernikahan tersebut ternyata hanya menelan biaya 3,5 juta Toman atau setara dengan Rp 2,9 juta. Meski terbilang sederhana, pernikahan ini berlangsung dengan khidmat dan syahdu.
Meski menjabat sebagai orang nomor wahid di negerinya dan memiliki banyak uang, Ahmadinejad tetap memegang prinsipnya untuk hidup dalam kesederhanaan. Tak terlihat ratusan personel tentara/kepolisian bersiaga, tak ada tutup arus lalu lintas di depan lokasi acara, dan tak ada pula siswa sekolah yang diliburkan demi sebuah acara pernikahan.
Peneliti Freedom Foundation, Fachrurozi, menilai pernikahan putra SBY yang glamor itu sebagai salah satu bentuk minimnya sensitivitas para elit di negeri ini atas derita rakyatnya. Menurutnya, kendatipun biaya pernikahan tersebut keluar dari kocek pribadi, namun tak sepantasnya seorang pemimpin bermewah-mewahan di tengah kehidupan rakyat yang masih dililit kesulitan ekonomi.
“Ini adalah salah satu bentuk korupsi moral yang seharusnya tidak dilakukan seorang pemimpin,” katanya.
Tak hanya berkaitan dengan pernikahan Ibas-Aliya, perilaku para elit juga seharusnya melihat realitas yang terjadi di sekelilingnya. Senitivitas ini, menurut Fachrurozi, merupakan suatu hal yang penting dimiliki para elit agar hati rakyat tidak terluka melihat gaya hidup mewah mereka.
“Jangan lukai hati rakyat dengan perilaku hedonis,” pungkasnya.
Tetapi bagaimana lagi, itulah Indonesia, slogan hidup sederhana hanya ada di iklan televisi. Cuma jadilip service saat kampanye pemilu. Bagaimana rakyat mau disejahterakan, bagaiman pemerataan ekonomi mau berjalan jika kelakuan pemimpin-pemimpin negeri ini ternyata bertolak belakang dengan kata-kata yang keluar dari mulut mereka sendiri.

Selasa, 23 Agustus 2011

Cara menambah lagu di blog (memasang lagu di blog)

Awalnya saya tidak tertarik membuat postingan ini,karena menurut saya tidak efektif jika memasang lagu di blog dan jauh lebih baik memutar winamp di komputer sambil buat blog daripada memutar lagu secara online. tetapi karena ada beberapa teman yang menanyakan cara memasang lagu ke blog, akhirnya saya buat juga postingan tentang cara tambah lagu menjadi background di blog blogspot.

Tetapi sebagai pertimbangan buat teman-teman sebelum menambah lagu ke blog:
1. Blog akan menjadi lebih berat, sehingga waktu loading atau membuka halaman lebih lambat
2. Robot google tidak suka dengan blog yang berat loadingnya, jadi jika tujuan anda untuk optimasi seo maka jangan tambah atau pasang lagu di blog anda.

Buat yang tertarik pasang lagu di blog bisa lakukan prosedur berikut:
1. Buka situs layanan mp3 online
2. Copy kode html yang tersedia

widget musik untuk blog
3. Logn ke account blogger anda
Pilih Dashboard -> tata letak -> elemen halaman
Pilih Tambah Gadget

memasang lagu di blog
4. Pilih html/java script

widget lagu untuk blog
5. Masukkan kode yang anda perleh dari website layanan lagu online ke kotak teks html/javascript
Klik Simpan
widget music
6. Buka blog anda, jika sukses maka akan muncul widget mp3 player di blog anda. Untuk memulai lagu anda bisa tekan tombol play seperti di winamp. Untuk menyembunyikan playlist tekan tombol PL.

widget lagu


Untuk membuat lagu sendiri menjadi background blog dimana lagu tersebut akan bunyi secara oomatis saat membuka halaman blog di blogspot bisa lihat panduannya disiniCara memasang lagu sendiri menjadi background blog

Beberapa postingan lain terkait cara membuat blog di blogspot bisa dilihat disinipanduan membuat blog

Cara memasang lagu sendiri menjadi background blog di blogspot




Terkadang kita ingin menambah lagu menjadi backgound blog agar blog lebih terkesan menghibur, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk memasang lagu di blog yaitu dengan menggunakan layanan embed code lagu yang sudah tersedia oleh layanan lagu online dan yang kedua adalah memasang lagu sendiri.
Untuk memasang lagu sendiri jika menggunakan blogspot maka yang harus dilakukan adalah upload file ke website audio hosting gratis.kemudian memasukkan link file lagu tersebut ke dalam template atau gadget html.

Prosedur lengkapnya seperti di bawah ini:



1. Yang pertama kita lakukan adalah upload ke website audio hosting, disini saya gunakan filefreak, beberapa website audio hosting bisa dilihat disini free music hosting
Jika situs hosting mengijinkan file audio format midi, sebaiknya file yang diupload dalam bentuk midi agar lebih ringan loadingnya saat melakukan streaming.
Untuk mengubah file mp3, wav atau audio lainnya ke bentuk midi bisa gunakan sofware gratis berikut audio converter

2. Dalam contoh ini saya menggunakan filefreak. Buka situs free audio hosting bisa klik disni audio hosting
Daftar menjadi member, klik Sign up
Setelah menjadi member klik upload file untuk upload file mp3
Dalam contoh ini saya menggunakan file mp3 (karena hosting audio yang saya gunakan hanya mengijinkan mp3) Setelah diupload akan diperoleh link file mp3 tersebut seperti di bawah ini (klik fernando.mp3)

Direct Linknya akan tampil seperti pada gambar berikut ini
Klik kanan pada Direct , di popupmenu pilih Copy Link Location



Paste link tersebut di blog (ke dalam source code widget lagu)
perhatikan file yang akan digunakan akan berakhiran  mp3, atau file audio lainnya
Contoh:
http://www.filefreak.com/files/798900_qmg7m/01%20-%20FERNANDOa.mp3
atau
http://www.filefreak.com/files/803389_ddcci/FERNANDOb.mp3

2.Selanjutnya login ke dashboard blogger
Pilih Tata Lerak , Elemen Halaman , Tambah Gadget



Masukkan script berikut ke dalam gadget html/javascript



<object classid="CLSID:6BF52A52-394A-11d3-B153-00C04F79FAA6"
id="player" width="270" height="60">
<param name="url"
value="http://www.filefreak.com/files/803389_ddcci/FERNANDOb.mp3" />
<param name="src"
value="http://www.filefreak.com/files/803389_ddcci/FERNANDOb.mp3" />
<param name="showcontrols" value="true" />
<param name="autostart" value="true" />
<!--[if !IE]>-->
<object type="video/x-ms-wmv"
data="http://www.filefreak.com/files/803389_ddcci/FERNANDOb.mp3"
width="270" height="60">
<param name="src"
value="http://www.filefreak.com/files/803389_ddcci/FERNANDOb.mp3" />
<param name="autostart" value="true" />
<param name="controller" value="true" />
</object>
<!--<![endif]-->
</object>

catatan:
1. Nilai 270 dan 60 pada width="270" height="60", bisa dubah sesuai lebar dan tinggi player yang diinginkan, sesuaikan dengan lebar sidebar blog
2. http://www.filefreak.com/files/798900_qmg7m/01%20-%20FERNANDOa.mp3 , bisa diganti dengan link lagu yang anda upload.
3. File midi bisa juga dicari di direktori Windows : C:\Windows\Media
Script di atas baru saya coba pada IE (Internet explorer), Firefox, dan Google Chrome, dan bisa berjalan dengan baik. Untuk browser opera dan safari belum saya uji coba.
4. Sebaiknya file mp3 anda upload sendiri, karena jika pemakaian secara bersama (share) maka akan cepat menghabiskan quota bandwith (maksimum bandwith per user filefreak 256 MB/bulan)