Senin, 27 Februari 2012

Mencari Format Gerakan Mahasiswa


Ketika demonstrasi terasa semakin tumpul…
Sebagai sebuah kekuatan politik, gerakan organisasi kemahasiswaan masih memiliki legitimasi moral yang kuat. Sayangnya, meskipun harapan tinggi masih diletakkan di pundak mahasiswa, akhir-akhir ini terasa ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian melempem dalam menghadapai berbagai permasalahan riil bangsa saat ini.
Bahkan Amien Rais, ikon gerakan reformasi 1998, sempat melontarkan pernyataan bahwa gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat kini seperti “mati suri.” Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme.
Memang, dalam era demokrasi yang semakin terbuka ini, selalu terjadi anomali. Gerakan organisasi mahasiswa bukan malah semakin menguat perannya, tapi malah terasa semakin surut. Demonstrasi tak lagi menjadi “milik” mahasiswa.
Bagi saya, demonstrasi merupakan puncak dari nalar kritis mahasiswa. Artinya demonstrasi menjadi salah satu deskripsi bagaimana mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan menyikapi sebuah isu maupun kebijakan.
Memang betul, bila ada yang berkata, bahwa demonstrasi itu bukan jalan satu-satunya dalam bersikap kritis. Masih banyak jalan lain. Tapi apakah jalan lain itu? Apakah organisasi kemahasiswaan kita telah menempuh “jalan lain” tersebut? Apakah jalan lain itu menggambarkan sikap kritis mahasiswa?
Memang tak selamanya aksi dimaknai sebagai ajang demonstrasi. Tapi selamanya sebuah aksi harus diawali dengan pemikiran kritis. Kaidahnya; kritis di awal, demo di akhir. Hal inilah yang jarang kita lakukan; mengembangkan paradigma berpikir kritis.
Ketika ormawa menjadi autis…
Saya memakai definisi autis, dengan sederhana. Dengan kalimat yang saya dapatkan dari seorang kawan di jurusan PLB. Ia mengatakan, dalam bahasanya, autis ialah asyik dengan dunianya sendiri. (Mohon maaf, kalau definisi ini tidak terlalu tepat menggambarkan apa yang saya maksud)
Ya, mahasiswa dan ormawa telah terlalu asyik dengan dunianya; kampus dan segala pernak-perniknya. Tengoklah berapa banyak kegiatan yang dilakukan oleh ormawa, dari sekian kegiatan itu berapakah yang betul-betul bermakna bagi masyarakat, termasuk masyarakat kampus.
Kita harus merenungkan pesan Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian. Ia berpesan agar kampus jangan menjadi menara gading. Kampus jangan menjadi gudang pengetahuan tanpa mampu menularkan sedikitpun bagi masyarakat.
Mahasiswa adalah kaum intelektual. Ormawa adalah kumpulan intelektual terbaik di kampus. Maka renungkanlah kata Gramsci;
“….kesalahan intelektual terletak pada mempercayai bahwa seseorang dapat mengetahui tanpa merasakan. Dengan kata lain bahwa seolah-olah seorang intelektual dapat menjadi intelektual (tidak hanya sekedar ‘orang pintar’) jika berbeda dan dipisahkan dari masyarakat; yaitu tanpa merasakan gerak, getaran dan gairah yang timbul di dalam masyarakat..”
Saya merasa sekian lama ini ormawa telah lepas dari masyarakat. Bahkan dalam masyarakat kampus itu sendiri.
Kita harus menambah indikator keberhasilan ormawa tak hanya dilihat dari berapa banyak seminar yang ia lakukan. (Saya tidak mengatakan bahwa agenda akademik, seperti seminar, diskusi publik itu tidak penting. Agenda tersebut penting. Malah sangat penting. Dan untuk saat ini, gerakan itu perlu ditambah agar ormawa semakin berkembang)
Pertanyaan-pertanyaan seperti; berapa banyakkah mahasiswa yang benar-benar merasakan kebermanfaatan secara riil adanya ormawa? Apa yang sudah dilakukan ormawa untuk membela hak-hak mahasiswa? Misalnya ormawa ini bubar, berapakah mahasiswa yang menangisinya dan berapa pula yang akan tertawa bahagia? Dan masih banyak lagi.
Pertanyaan seperti itu harus selalu kita tanyakan pada diri sendiri. Pada ormawa yang kita kelola.
Dalam tataran masyarakat (bukan masyarakat kampus) pun saya kira ormawa masih kurang peranannya. Kita seringkali berpikir bahwa ormawa sudah melakukan yang terbaik hanya dengan mengagendakan bakti sosial setahun sekali. Hal itu tak cukup. Kita belum mampu melakukan pemberdayaan masyarakat. Permasalahan di masyarakat tak cukup dengan baksos sekali.
Memang sangat berat dalam melakukan agenda pemberdayaan masyarakat. Butuh komitmen dan kerja keras. Tak cukup hanya dengan ormawa saja. Kita harus melibatkan seluruh elemen. Mulai dari birokrat, mahasiswa non pengurus, pengurus desa, dan lainnya. Tapi yang paling penting ialah kemampuan ormawa menjadileading sector.
*(KKN sebenarnya merupakan konsep pengabdian masyarakat yang bisa di optimalkan. Dan sangat jarang ormawa yang mampu memanfaatkan KKN untuk memaksimalkan kontribusinya dalam pengabdian masyarakat)
Ketika akademis menjadi kesibukan semata…
Tak ada yang salah dengan kuliah. Justru saya menyarankan agar kita semua rajin kuliah dan meraih IPK Cumlaude. Saya termasuk orang yang sedikit menyesal, kenapa IPK saya tak cumlaude ya? Saya mengatakan ini agar tak ada salah paham dari Anda semua. Rajin kuliah, belajar, itu tetap penting.
Pertama, saya hanya ingin bertanya saja; dari teori yang kita pelajari di ruang kelas itu, teori apa yang kita gunakan dalam memaksimalkan peran ormawa?
Ya, kadang kala kita tak menggunakan basis teori jurusan kita dalam agenda-agenda ormawa. Hal sama juga terjadi sebaliknya, ormawa tak mampu memanfaatkan teori-teori ruang kelas itu.
Kegiatan akademis kita bisa jadi hanya kesibukan semata.
Kedua, ormawa belum bisa mengoptimalkan agenda penelitian yang bertebaran di kampus untuk mendorong agendanya. Misalnya begini, katakanlah BEM punya agenda dalam mengkaji kebijakan publik daerah. Nah, kenapa agenda ini tidak disupport oleh penelitian yang dilakukan pengurusnya? Atau ormawa punya gerakan pemberdayaan masyarakat, tapi jarang PKM yang dimotori oleh ormawa. Kebanyakan mahasiswa melakukan PKM atas inisiatif sendiri atau karena keterpaksaan syarat beasiswa.
Maka yang sering terjadi ialah penelitian-penelitian, PKM-PKM, yang seringkali kita buat tak ada hubungannya sama sekali dengan aktifitas kita di ormawa. Bukankah enak bila ormawa ada agenda pemberdayaan masyarakat, dan mendorong sala satu atau dua pengrusnya untuk menyusun PKM tentang itu. Keterkaitan antara kedua hal inilah yang penting.
Sudah saatnya, gerakan ormawa didukung pula dengan penelitian yang bermutu.
“..apakah guna sekolah-sekolah didirikan? Kalau toh tak dapat mengajarkan mana hak mana tidak, mana benar mana tidak..-Pram-“
Ketika mahasiswa berbisnis…
Inilah virus yang baru menjamur saat ini. Bisnis atau biasa disebut enterprenuer. Banyak mahasiswa yang melakukan ini. Dan saya setuju. Tapi bagaimana dengan ormawa?
Saya lihat di kompleks gedung merah itu sudah banyak ormawa yang terjun juga ke dunia bisnis. Yah, walaupun hanya kecil-kecilan saja.
Hal tersebut perlu ditingkatkan. Apalagi bila dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat. Maka yang terjadi adalah bisnis sosial atau lebih enak disebut social entrepenuership. Kita berbisnis tapi juga turut memberdayakan masyarakat. Bagaimana kalau ormawa melakukannya? Sekali lagi, ormawa-lah motornya. Kesulitan dana? Bukankah kita bisa memanfaatkan dana mahasiswa wirausaha itu. J
Tak henti mencari….
Begitulah, mungkin format gerakan ormawa yang sesuai untuk masa ini adalah menggabungkan keempat hal yang saya sebutkan tadi.
Bukan berarti semua harus kita kerjakan. Tidak. Waktu dan tenaga kita tak akan cukup, karena periode kita hanya satu tahun. (Itupun masih dipotong)
Mari kita sama-sama mencari –lebih tepatnya ‘meramu’- keempat hal diatas. Apa yang bisa ormawa lakukan berbasis hal tersebut?
Tugas kita –saya dan Anda- untuk menjawabnya. Tugas kitalah untuk merealisasikannya. Dan mari kita wujudkan gerakan ormawa yang responsif dan kontributif untuk Indonesia yang lebih baik.
Saya yakin, walaupun wajah-wajah Anda tidak terlampau tampan, tapi wajah-wajah Anda adalah; wajah-wajah harapan. (hehe…piss..:))

sumber : Kompasania.com