Selasa, 20 Desember 2011

Hukum dan HAM Bukan Untuk Rakyat Jelata, Sungguh Blekedess..!!!


nilah Indonesia yang katanya sebagai negara yang dilandasi oleh azas-azaz Kesusilaan atas dasar kebesaran dan kekuatan didalam kandungan pada Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945 (UUD45). Inilah Indonesia yang katanya sebagai negara yang menjunjung tinggi kebersamaan dan keadilah dalam segala hal di dalamnya. Keadilan didalam hukum dan kemakmuran berdasarkan untuk sepenuhnya untuk rakyat. Keamanan dan kenyamanan hidup di dalam negeri ini katanya juga untuk rakyat, tapi semua itu ternyata hanya fatamorgana semu dan suran, semua hanya kiasan yang tak nyata adanya.
Ya ya ya…, ternyata apa yang ada di negeri tercinta ini, Keadilan dan kemakmuran sejak masa era kekuasaan dan kepemimpinan Presden Soekarna hingga sampai pada masa era kekuasaan dan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini, Keadilan dan kemakmuran hanya milik para pejabat negara dan para penguasa yang memiliki banyak uang. Buktinya sampai saat ini rakyat kecil pada khususnya hanya dijadikan komoditi politik dan hanya jadi sapi perahan di dalam pendapatan negara. Rakyat kecil di negeri ini kebanyakan hanya selalu dijadikan tumbal bari para elit-elit negeri ini.
Peraturan dan perundangan-undangan negara yang di susun dan di sahkan oleh negara, ternyata berlaku hanya untuk rakyat yang tidak berdaya, bukan hanya untuk mereka yang lebih banyak menikmati fasilitas negara ini, dari jabatan, rumah dinas, mobil dinas, kesehatan, keamanan dan fasilitas lainnya yang lebih banyak menggunakan biaya dari uang rakyat.
Penuntasan hukum dan HAM di negeri ini hanya adil untuk para kalangan elit dan kelompok-kelompok elit lainnya yang banyak memiliki koneksi. Keadilan hukum dan HAM atas nama rakyat jelata tidak ada sama sekali bagi mereka. Jelasnya bahwa rakyat jelata hanya dijadikan korban dan kambing hitam.
Buktinya dari sekian banyak peristiwa hukum dan HAM yang dialami oleh rakyat jelata di negeri ini lebih banyak diabaikan. Contoh pada soal-soal sengketa tanah pertanian, perkebunan maupun hunian yang semula milik rakyat, kok tiba-tiba menjadi milik dari para kelompok yang memiliki banyak uang. Ini sudah jelas banyak terjadi dihampir wilayah di negeri ini, Indonesia. Buktinya hukum dan HAM yang berlaku adil hanya untuk kelompok-kelompok ber-uang tadi. Polisi, Kejaksaan dan peradilan lainnya lebih condong berpihak kepada kelompok-kelompok ber-uang tersebut.
Contoh lainnya lagi soal ketidak adilan hukum dan HAM yang dialami rakyat jelata pada soal sengketa tanah dan lahan, seperti kasus-kasus sengketa tanah antara negara – pengusaha versus rakyat sudah banyak terjadi dan tetap rakyat yang menjadi pencundangnya mulai dari Wanosobo, Garut, Cianjur, Tasikmalaya, Bulukumba, Muko-muko, Labuhan Batu, Porsea, Luwu, Mangarai, Lombok Tengah, Halmahera dan Bayuwangi, semuanya memperlihatkan pola-pola militeristik yang digunakan untuk membecking kepentingan pemodal kuat.
Di Riau konflik pertanahan antara Suku Sakai yang merupakan penghuni sah rimba raya dan tanah Riau yang kaya minyak harus menanggung penderitaan terusir dari tanah leluhurnya. Kasus perseteruan antara Suku Sakai dengan PT Arara Abadi anak perusahaan Sinas Mas Group. Tanah yang dikuasai perusahaan ini dulunya adalah tanah ulayat Suku Sakai dan negara membantu PT. Arara Abadi pada tahun 1990-an untuk melakukan pencaplokan atas tanah seluas 8.000 ha untuk dijadikan sebagai kebun kayu ekaliptus dan akasia. Persoalannya adalah konsep tanah ulayat dalam Suku Sakai tidak diakui negara sebagaimana tanah ulayat dalam masyarakat Minangkabau dimana Nagari dan tanah ulayat diakui negara kepemilikannya sebagai milik komunitas lokal (Kompas, 15 Desember 2007) (Kalaupun dalam kenyataannya banyak terjadi sengketa tanah di Minangkabua yang melibatkan komunitas lokal versus negara-pengusaha-pen).
Demikian juga di tanah Papua kasus pengambil alihan tanah milik Suku Komoro dan beberapa Suku lainnya oleh PT Freeport Indonesia. Rebutana lahan antara Marinir dengan warga di di Alas Tlogo, Pasuruan Jawa Timur 30 Mei 2007 yang berbuntut kasus penembakan terhadap warga oleh anggota Marinir. Bahkan menurut catatan data yang dimiliki Komnas HAM berdasarkan laporan sejak 7 November hingga 5 Desember 2007 tercatat 273 berkas pengaduan tertulis yang diterima sebagian besar terkait permasalahan pertanahan masing-masing sebanyak 50 kasus. Anton Lucas dalam Afrizal (2006:15), mengungkap bahwa fenomena konflik agraria di Indonesia sebagai fenomena yang penuh dengan penindasan dan perlawanan.
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), sebanyak sekitar 30 orang dikabarkan menjadi koban tewas dalam konflik lahan di Mesuji, Sumatra, sepanjang 2008 hingga 2011. Tujuh orang di antaranya diketahui tewas akibat pertikaian yang terjadi pada Kamis, 21 April 2011, sekitar pukul 12.00 WUB. Yakni, antara warga dan petugas pengamanan internal PT SWA di Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Akibat insiden itu, lima korban tewas berasal dari pihak PT Sumber Wangi Alam (SWA). Sedangkan dua lainnya adalah petani yang merupakan warga Sungai Sodong, OKI. Kelima korban dari PT SWA itu adalah Hambali bin M Tohir (Asisten Manager PT SWA), Hardi bin Ratan (Asisten Manager PT SWA), Sabar bin Ruswat (Satpam), Saimun, dan Agus Manto. Sedangkan dua korban dari warga adalah Safei bin Mukmin dan Dewa alias Macan.
Peristiwa berdarah itu dipicu oleh tindakan pihak perusahaan yang menyewa 40 orang untuk menduduki dan memanen lahan perkebunan sawit seluas 300-an hektare yang masih disengketakan antara PT SWA dan warga (status quo). Orang-orang yang dipekerjakan PT SWA itu sejatinya sempat diingatkan warga akan status areal yang masih berkonflik.
Namun perselisihan tidak terelakkan dan diwarnai oleh tindak kekerasan yang menewaskan warga. Mengetahui kejadian itu, warga pun lalu mendatangi lokasi seraya membawa mayat kerabatnya itu.
Warga juga beramai-ramai mendatangi perusahaan yang hanya berjarak beberapa kilometer dari perkampungan mereka. Didera amarah, warga lantas merusak kantor perusahaan yang dijaga oleh beberapa satpam. Akibat peristiwa bentrok balasan tersebut, empat orang satpam perusahaan tewas.
Persoalan atas lahan tersebut telah bermula dari rebutan lahan kebun kelapa sawit seluas 1.200 Ha antara warga Desa Sungai Sodong dan PT SWA. Hingga kini, sekitar 300 Ha kebun sawit itu masih diklaim sebagai milik warga, bukan milik perusahaan.
Namun, pihak perusahaan dengan menugaskan sekelompok preman suruhan, tetap berusaha memanen sawit di kebun tersebut. Kontan itu memancing kemarahan warga, yang akhirnya meledak pada penghujung April lalu.
Apa penyebab terjadinya sengketa pertanahan yang melahirkan protes yang berkepanjangan adalah karena negara telah gagal memberikan perlindungan kepada rakyat dan gagal menjadi pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan bukan sebaliknya melakukan persekongkolan dengan pengusaha untuk merampas hak rakyat atas tanah mereka. Sejarah persengketaan di bidang agraria akan terus berlanjut sepanjang negara tidak bisa membuat sebuah kebijakan yang berpihak kepada rakyat dengan melakukan perombakan hukum agraria secara revolusioner dan total bukan parsial yang sebenarnya cenderung hanya menguntungkan kalangan elit negeri ini dan para pengusaha.
Resolusi Konflik Agraria :
Perlunya Mengembalikan Hak Rakyat Atas Tanah
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh banyak peneliti dan pengamat terkait dengan konflik pertanahan yang terjadi sepanjang sejarahnya di Indonesia, bahwa asumsi yang menyebutkan negaralah sesunguhnya yang menjadi sumber konflik agraria, karena negara telah gagal menjadi mediator dan fasilitator pada saat terjadinya pelepasan tanah adalah benar adanya. Bahkan negara secara sistematis dan terencana berada di belakang pengusaha pada saat pelepasan tanah dengan menggunakan aparat bersenjata juga merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Sebagaimana Afrizal menyebutkan, berbagai studi katanya menunjukkan bahwa negara merupakan faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya (Afrizal, 2006:76). Afrizal bertolak dari studi Bachriadi (1997), Lucas (1997), Ruwiastuti (1997), Fauzi (1999), Stanley (1999), Bachriadi dan Lucas (2001), Hafid (2001) Nuh dan Collins (2001) dan Sakai (2002, 2003).
Bila bertolak dari thesis tersebut, maka penyelesaian konflik agraria harus dikembalikan kepada negara, karena sesungguhnya akar permasalahan bermula dari tindakan negara, tentunya solusinya dikembalikan kepada negara untuk membuat sebuah kebijakan yang dapat menyelesaikan persengketaan tanah tersebut. Salah satu solusinya adalah melakukan perubahan yang mendasar dalam hukum agraria yang lebih mampu mengakomodasi kepentingan mayarakat/komunitas yang dirugikan karena pengambil alihan tanah mereka oleh negara atau perusahaan. Teori yang menyebutkan negara adalah penjaga malam bagi rakyat merupakan landasan yang paling relevan diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria di Indonesia. Pertanyaannya maukah negara melakukan itu di tengah menguatnya semangat negara kapitalistik yang sedang menjalar dalam tumbuh negara bila kita bercermin dari Kasus Lumpur Lapido Brantas Inc di Sidoarjo (Kompas, 28 November 2007).
Sedangkan kasus-kasus tanah ulayat yang dimiliki komunitas adat, maka semestinya diberikan kewenangan kepada mereka untuk mengurusnya bukan sebaliknya mengusir mereka secara paksa dengan menggunakan pola-pola yang represif. Bukankah Undang-Undang Pokok Agraria sendiri mengakui keberadaan tanah adat, tapi kenapa begitu gampang dilakukan pengambil alihan hak-hak komunitas dan kepentingan mereka menjadi terpinggirkan oleh kepentingan negara atau pengusaha ? Ini merupakan cerminan dari ketidak seriusan negara dalam mengurus dan menjamin kepentingan rakyatnya (?).
Bertolak dari uraian-uraian di atas bahwa penyelesaian konflik pertanahan tetap muaranya ada di tangan pemerintah sebagai pemegang kuasa tertinggi atas tanah menurut undang-undang. Resolusi konflik yang ditawarkan sejalan dengan pendapat banyak pihak yang menawarkan solusinya penyelesaian persengketaan pertanahan yang melibatkan negara-pengusaha versus rakyat/masyarakat/komunitas adalah sebagai berikut :
1. Perlunya keadilan bagi penduduk atau komunitas setempat dengan mempertimbangkan ketidak adilan dan proses pengambilan tanah dari penduduk setempat atau peruntukan tanah yang belum digarap yang dilakukan aparatur negara dan bisnis untuk keperluan mereka. Resolusi konflik ini merujuk kepada pendapat Afrizal. (Afrizal., 2006:132).
2. Resolusi konflik yang diambil oleh negara dalam penyelesaian konflik tanah selama ini tidak sepenuhnya efektif, karena negara sepertinya bias dalam mengambil keputusan akibat persekongkolan dengan pengusaha. Dalam hal ini diperlukan adanya jaminan negara terhadap hak-hak atas tanah masyarakat melalui perubahan undang-undangan agraria yang lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat tertutama dalam proses ganti utung bukan ganti rugi atas bangunan, tanah dan seluruh tanaman yang ada di atas tanah tersebut.
3. Perlunya pengakuan terhadap hak-hak komunitas lokal terhadap tanah yang disengketakan atas bekas tanah hak erfpacht. Pemberian HGU kepada perusahaan oleh negara semestinya tetap memperhatikan kepentingan komunitas lokal terlepas dari adanya argumen yang menyebutkan negara sebagai penguasa atas tanah-tanah tersebut. Sepanjang negara tidak memenuhi tuntutan komunitas lokal, maka persengketaan tanah akan terus terjadi.
4. Hendaknya penggunaan aparat negara dalam menyelesaikan konflik pertanahan dapat lebih dikurangi, tentunya dengan lebih mengedepankan penyelesaian yang berorientasi kepada kepentingan bersama (musyawarah) bukan keuntungan satu pihak saja (negara-pengusaha), sehingga pola-pola militeristik yang dikedepankan selama ini dalam penyelesaian persengketaan tanah tidak diperlukan lagi.
———————
*.sumber artikel di sari dari berbagai sumber terkait.

Senin, 19 Desember 2011

Anak muda di Indonesia kasihan

Anak muda di Indonesia kasihan kalau dalam berkarya pun mereka masih tetap dibatasi oleh sistem yang dikuasi oleh yang TUA

Anak muda di Indonesia menangis diam-diam kalau bahkan dalam menuturkan pendapat pun mereka masih dibatasi oleh tuntutan bahwa yang mudah harus berbicara SESUAI umurnya

Anak muda di Indonesia merasa terbunuh secara perlahan kalau mereka masih saja sering DIHAKIMI dan DIRENDAHKAN oleh yang lebih TUA hanya karena umurnya

Anak muda di Indonesia tersakiti secara tak langsung ketika usaha mereka tak DIHARGAI hanya karena mereka dianggap tak berpengalaman walau mereka telah berusaha dengan keras

Anak muda di Indonesia terpaksa tak melawan ketika mereka DIHINA habis-habisan atas tuduhan yang bahkan tak mereka lakukan. Apakah MEMBELA DIRI berarti melanggar norma kesopanan? Apakah norma kesopanan ingin tahu perasaan seorang anak muda yang terpaksa diam dan tidak melawan karena melawan selalu dianggap perbuatan tercela?

Anak muda di Indonesia merasa tak berarti ketika bahkan dalam usaha terbaik mereka, mereka tetap dianggap bocah kencur yang masih harus banyak belajar

Jadi, kapan si TUA memberi kesempatan pada yang MUDA?

Dengan MERENDAHKAN, MEMAKI, MENUDUH, dan MERUSAK RASA PERCAYA DIRINYA bukankah hal itu malah menghalangi seorang anak muda untuk berkembang?

Apakah si TUA memang dasarnya EGOIS?

Ingin segalanya dikuasai oleh kaum yang seumuran dengannya?

Ingin segalanya dikendalikan oleh orang yang satu ideologi dengannya?

Lalu, apa gunanya PERBEDAAN diciptakan secara terang-terangan oleh TUHAN kalau si TUA hanya ingin menerima segala hal yang memiliki persamaan dengan dirinya?

Ah, iya. Mungkin, kita belum terlalu sadar, kalau TUA tak menjamin KEDEWASAAN seseorang

Seringkali yang TUA pun punya pikiran yang justru tak semaju yang MUDA

Si MUDA dan si TUA ini mungkin butuh “JEMBATAN” karena terlalu dalam jurang yang menjadikan mereka terlihat dan terkesan berbeda

Tak harus SAMA kalau ingin BERSATU, cukup menerima segala sesuatu sebagai hal BARU yang pantas dihargai dan diapresiasi