Senin, 28 November 2011

Arti Kesederhanaan Bagi Pemimpin Indonesia Cuma Pemanis Bibir



13224753352143397154
1322476331203204296
Intinya di Indonesia ini jelas sekali meskipun bilangnya demokrasi dan kesetaraan, namun kelas-kelas sosial atau sistem elit-jelata memang sengaja dibentuk untuk menciptakan kesenjangan di antara masyarakat. Dan hal tersebut dipraktikkan oleh pemimpin tertinggi Republik ini. Sangat memalukan. Tetapi memang begitulah jika didikan feodalisme tetap dan terus dipertahankan. Kalau ditarik ke ranah hukum, contohnya adalah sikap ewuh pekewuh yang akhirnya bikin mandeg proses hukum terhadap koruptor-koruptor papan atas. Mengapa demikian? Jangan bilang tidak aada keterkaitan antara hukum, dan sosial budaya. Justru keterkaitannya sangat banyak, apalagi bila melihat budaya kita yang suka membikin kelas-kelas dalam masyarakat.
Contoh paling gamblang adalah pernikahan sejumlah orang yang sering dibilang tokoh nasional, seperti para konglomerat, petinggi partai, sampai sang Presiden sendiri. Kalau Presiden sudah mempraktikkan yang sedemikian rupa dan dipertontonkan dengan jelas kepada masyarakatnya, berarti memang rakyat Indonesia sudah kehilangan figur pemimpin yang bisa dijadikan panutan. Atau mungkin bisa menjadi panutan tapi hanya untuk kalangan elitis yang doyan hedonis itu. Berbeda dengan di Iran, di mana Presiden Iran ketika menikahkan anaknya sama sekali jauh dari sisi glamor dan penghamburan uang.
Resepsi pernikahan putra kedua Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, Alireza Ahmadinejad dengan Syahid Kaveh berlangsung sederhana. Tidak seperti di Indonesia yang sebelum hari H-nya saja sudah hingar bingar di infoteinment. Bahkan dengan noraknya dibilang pernikahan abad ini di Indonesia.Wueekk!! Tapi itulah potret sederhana Ahmadinejad dan glamornya SBY, perbedaan yang kontras antara dua pemimpin di dunia muslim. Bahkan foto-foto pernikahan putra Ahmadinejad terkuak setelah seorang blogger bernama Javad Matin, yang juga merupakan salah satu undangan keluarga Ahmadinejad, menuliskan pengalamannya menghadiri pernikahan sederhana itu. Menurut pengakuan Matin, kesederhanaan terasa di mana-mana dalam pesta tersebut. Terbukti dari cara tamu dijamu. Hal ini juga bisa dilihat dari mobil yang digunakan untuk mengantar pengantin dan jumlah tamu undangan yang tidak lebih dari 200 orang. Tidak seperti undangannya SBY di Cipanas, berjajal mobil mewah politikus-politikus partai.
Acara dibuka dengan pengajian yang dilakukan di halaman belakang Beyt atau Istana Kepresidenan. Acara pun dilanjutkan dengan makan malam bersama pengantin pria di ruangan utama bangunan itu dan diakhiri dengan berdoa bersama demi kelanggengan rumah tangga Alireza dan istrinya. Setelah ditelusuri, pernikahan tersebut ternyata hanya menelan biaya 3,5 juta Toman atau setara dengan Rp 2,9 juta. Meski terbilang sederhana, pernikahan ini berlangsung dengan khidmat dan syahdu.
Meski menjabat sebagai orang nomor wahid di negerinya dan memiliki banyak uang, Ahmadinejad tetap memegang prinsipnya untuk hidup dalam kesederhanaan. Tak terlihat ratusan personel tentara/kepolisian bersiaga, tak ada tutup arus lalu lintas di depan lokasi acara, dan tak ada pula siswa sekolah yang diliburkan demi sebuah acara pernikahan.
Peneliti Freedom Foundation, Fachrurozi, menilai pernikahan putra SBY yang glamor itu sebagai salah satu bentuk minimnya sensitivitas para elit di negeri ini atas derita rakyatnya. Menurutnya, kendatipun biaya pernikahan tersebut keluar dari kocek pribadi, namun tak sepantasnya seorang pemimpin bermewah-mewahan di tengah kehidupan rakyat yang masih dililit kesulitan ekonomi.
“Ini adalah salah satu bentuk korupsi moral yang seharusnya tidak dilakukan seorang pemimpin,” katanya.
Tak hanya berkaitan dengan pernikahan Ibas-Aliya, perilaku para elit juga seharusnya melihat realitas yang terjadi di sekelilingnya. Senitivitas ini, menurut Fachrurozi, merupakan suatu hal yang penting dimiliki para elit agar hati rakyat tidak terluka melihat gaya hidup mewah mereka.
“Jangan lukai hati rakyat dengan perilaku hedonis,” pungkasnya.
Tetapi bagaimana lagi, itulah Indonesia, slogan hidup sederhana hanya ada di iklan televisi. Cuma jadilip service saat kampanye pemilu. Bagaimana rakyat mau disejahterakan, bagaiman pemerataan ekonomi mau berjalan jika kelakuan pemimpin-pemimpin negeri ini ternyata bertolak belakang dengan kata-kata yang keluar dari mulut mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar