Kamis, 17 Februari 2011

Harga Pangan dan Ancaman Kelaparan


“Sekali naik, tak mudah turun.” Ungkapan ini menggambarkan situasi Indonesia belakangan ini. Harga kebutuhan pokok terus melonjak, tak ada tanda-tanda akan turun. Beras, telur, minyak goreng, kedelai, tepung, daging, semua naik. Terakhir  harga cabai yang mencapai Rp. 100 ribu per kg.  Melambungnya harga kebutuhan pokok tak diimbangi dengan pendapatan banyak anggota masyarakat. Dampaknya sangat luar biasa, selain  jumlah warga miskin bertambah, bahaya kelaparan pun mengancam.
Di Desa Kapetakan Cirebon, satu keluarga selama dua bulan penuh terpaksa makan nasi aking. Mereka tak mampu lagi membeli beras atau makanan lain yang layak dikonsumsi. Turadi dan istrinya, Rokayah, tak punya pilihan. Turadi mengaku, penghasilannya tak cukup buat membeli beras, meski cuma satu liter. Sebagai pengayuh becak, bapak tiga anak itu sudah tak maksimal lagi mencari duit. Dia sudah cukup sepuh dan mulai sakit-sakitan (Metronews).
Nia, ibu rumah tangga asal Depok, mengeluh uang belanjanya kini tak lagi mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dengan uang 40 ribu rupiah sehari kini sudah tidak lagi  mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Uang itu tak cuma untuk makan, tapi juga keperluan anaknya yang masih sekolah.
Masih ingat ketika ratusan pengusaha industri tempe dan tahu melakukan aksi mogok membuat tempe karena harga kedelai bahan utama tempe yang terus melambung? Lauk pengganti daging ini sempat menghilang di pasar. Walaupun ada, harganya bisa tiga kali lipat dari harga biasa. Bahkan pedagang gorengan asal Banten memilih mengakhiri hidupnya  kerana ia tak mampu lagi menjajakan dagangannya. Kedelai semakin mahal dan sulit didapat, gorengan pun tak bisa dibuat. Bayangan hidup ke depan yang mengancam dihindarinya dengan meninggalkan dunia.
Harga Pangan Jadi Masalah Dunia
Meroketnya harga pangan, juga dirasakan masyarakat di belahan lain Bumi. FAO lembaga pangan dunia menyatakan kenaikan harga saat ini melebihi lonjakan yang terjadi pada tahun 2008.  Indeks yang menghitung perubahan harga kumpulan bahan pangan seperti sereal, biji minyak, susu, daging, dan gula rata-rata mencapai 214,7 pada Desember 2010. Sedangkan rekor Juni 2008 hanya di level 213,5.
Efek buruk anomali cuaca telah melanda dunia. Mencairnya Greenland berakibat naiknya air laut akibat suhu bumi meningkat. Bencana alam bersusulan terus menerus. Belakangan banjir besar melanda Pakistan dan terakhir Australia. Produksi pangan menurun menyebabkan kelangkaan yang berimplikasi paa naiknya harga pangan.
Di Indonesia, faktor cuaca dan ledakan jumlah penduduk yang terus meningkat ditunjuk pemerintah sebagai penyebab terjadinya krisis pangan yang sedang melanda negeri ini beberapa tahun terakhir. Cuaca yang ekstrim, banjir dan kekeringan membuat para petani gagal panen sehingga harga di pasaran tinggi. Permintaan yang tinggi tak seimbang dengan tingkat produksi rendah. Akibatnya, kenaikan harga bisa mencapai 100%.
Indonesia di Titik Sangat Rawan
Indonesia berada di titik yang sangat rawan ketika harga pangan dunia bergolak. Satu-satunya jalan yang dilakukan pemerintah adalah melakukan impor 59 jenis produk pangan dengan bebas bea tarif impor pangan. Pemerintah berdalih, pembebasan bea masuk impor itu sebagai upaya menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional. Jenis produk bahan pangan itu antara lain beras, gandum, kedelai, bahan baku pangan pakan ternak dan pupuk (Kompas.com). 
Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pembebasan bea impor dilakukan karena tekanan pangan sudah cukup tinggi. Pemberlakuan tarif impor akan berpengaruh kepada masyarakat dan harga naik. Mengutip Lidya Christin Sinaga dari P2P LIPI, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor pangan, tidak hanya beras, tetapi juga gula, kacang kedelai, dan lain sebagainya. Inilah benih ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan dari luar negeri hingga saat ini dengan penerapan tarif impor nol persen.
Sesungguhnya pola yang diterapkan pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan harga dan kelangkaan pangan dengan cara impor bukan sesuatu yang baru.  Keran impor beras, kedelai  sudah dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah sejak tahun 1998 ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997. Indonesia menandatangani perjanjian dengan IMF dan diwajibkan mengadopsi SAP (Structural Adjustment Program), salah satunya adalah liberalisasi perdagangan komoditas pertanian, khususnya pangan. Caranya, menghapus subsidi pupuk, termasuk impor beras seluas-luasnya, yang tidak lagi dimonopoli BULOG (Badan Urusan Logistik).
Liberalisasi pangan dan penghapusan monopoli adalah konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia dalam WTO dan perdagangan bebas. Sayangnya liberalisasi pangan tidak dibarengi dengan kemandirian Indonesia dalam mengolah pangannya sendiri. Contohnya, berubahnya fungsi lahan pertanian menjadi industri properti membuat lahan pertanian berkurang. Hal ini menyebabkan biaya produksi sangat mahal.
Jika krisis pangan global terus berlanjut, Indonesia dilanda bahaya kelaparan, mengingat Indonesia memilki ketergantungan yang tinggi  kepada negara luar. Perlu dipikirkan strategi dan cara-cara indonesia mengatasi krisis pangan. Tentunya ini adalah persoalan genting dan penting yang membutuhkan perhatian segera dan penanganan komprehensif. (sminet/0012)

2 komentar: